Buat anak-anak ITB, pasti tahu kan, kalo dulu waktu semester 1, ada sekumpulan anak-anak STEI yang waktu istirahat sering main kartu Yu-gi-oh di CC. Orang-orang pun lantas kemudian menjadikan Yu-gi-oh sebagai sesuatu yang identik dengan anak STEI. Ditambah, tidak sedikit orang yang kemudian menyepelekan orang yang bermain yu-gi-oh.
Nah, pertanyaan gw, apa yang membuat orang-orang berhak menyepelekan orang lain yang bermain yu-gi-oh ini? Sebenarnya apa sih yang menjadikan permainan ini sebagai sumber penyepelean oleh orang-orang yang tidak memainkannya kepada mereka yang memainkannya?
Jujur aja, dulu waktu SMP, gw juga seneng banget sama yang namanya yu-gi-oh. Mainan ini tuh gak cuman asik buat dimainkan, tetapi juga mengasah cara berpikir, dan melatih penyusunan strategi. Sekarang gw memang udah g main yu-gi-oh lagi, dan masih ada temen-temen gw di STEI yang masih suka main kartu ini. Dan, sejujurnya gw juga tadinya ga melihat apa yang salah dari orang-orang yang suka akan sesuatu, kemudian menunjukkan rasa sukanya di depan umum.
Nah, dari apa yang gw liat selama ini, kelihatannya ini cuman masalah, apakah sesuatu itu memiliki banyak peminat di masyarakat atau tidak. Bermain yu-gi-oh bagi mahasiswa itu sama sekali bukan suatu kesalahan. Hanya saja karena mungkin belum banyak anggota publik yang belum mengerti mengenai permainan kartu itu, dan mereka melihat ilustrasi pada kartu lebih mirip dengan permainan anak-anak, lantas mereka memberikan pendapat bahwa yu-gi-oh adalah permainan anak-anak, dan lantas menganggap ada yang salah dengan para mahasiswa yang masih saja memainkan permainan ini. Pendapat umum ini pun menyebar, dan bahkan orang yang tadinya tidak ambil pusing dengan apakah mahasiswa masih main yu-gi-oh atau tidak pun akhirnya jadi ikut-ikutan menganggap rendah mahasiswa yang masih memainkannya.
Ini adalah contoh dari proses bagaimana pendapat umum dapat menentukan apakah sesuatu itu benar atau tidak, meskipun pada kenyataannya tidak selalu begitu. Hanya karena suatu pendapat, atau mungkin cara pikir, atau mungkin juga kebiasaan masih jarang di masyarakat, lantas orang-orang pun menganggapnya salah.
Coba saja, apakah karena lebih bisa diterima di umum, maka shopping, dugem, main DoTA, dan main futsal dianggap lebih benar dari main yu-gi-oh? Pada dasarnya, semua sama benarnya, namun kembali opini publik menghakimi sesuatu, dan menentukan itu benar atau salah.
Tentu saja prinsip seperti ini sangat bertentangan dengan yang namanya demokrasi. Dalam demokrasi, semua seharusnya mempunyai hak yang sama. Golongan minoritas harusnya tidak ditinggalkan atau disepelekan begitu saja. Memang, kasus permainan ini bisa dibilang bukan kasus yang signifikan atau apa, tetapi ini adalah salah satu contoh menyedihkan, bahwa bahkan dalam lingkungan kampus pun, ada saja penyepelean terhadap sesuatu bersifat minoritas.
Nah, pertanyaan gw, apa yang membuat orang-orang berhak menyepelekan orang lain yang bermain yu-gi-oh ini? Sebenarnya apa sih yang menjadikan permainan ini sebagai sumber penyepelean oleh orang-orang yang tidak memainkannya kepada mereka yang memainkannya?
Jujur aja, dulu waktu SMP, gw juga seneng banget sama yang namanya yu-gi-oh. Mainan ini tuh gak cuman asik buat dimainkan, tetapi juga mengasah cara berpikir, dan melatih penyusunan strategi. Sekarang gw memang udah g main yu-gi-oh lagi, dan masih ada temen-temen gw di STEI yang masih suka main kartu ini. Dan, sejujurnya gw juga tadinya ga melihat apa yang salah dari orang-orang yang suka akan sesuatu, kemudian menunjukkan rasa sukanya di depan umum.
Nah, dari apa yang gw liat selama ini, kelihatannya ini cuman masalah, apakah sesuatu itu memiliki banyak peminat di masyarakat atau tidak. Bermain yu-gi-oh bagi mahasiswa itu sama sekali bukan suatu kesalahan. Hanya saja karena mungkin belum banyak anggota publik yang belum mengerti mengenai permainan kartu itu, dan mereka melihat ilustrasi pada kartu lebih mirip dengan permainan anak-anak, lantas mereka memberikan pendapat bahwa yu-gi-oh adalah permainan anak-anak, dan lantas menganggap ada yang salah dengan para mahasiswa yang masih saja memainkan permainan ini. Pendapat umum ini pun menyebar, dan bahkan orang yang tadinya tidak ambil pusing dengan apakah mahasiswa masih main yu-gi-oh atau tidak pun akhirnya jadi ikut-ikutan menganggap rendah mahasiswa yang masih memainkannya.
Ini adalah contoh dari proses bagaimana pendapat umum dapat menentukan apakah sesuatu itu benar atau tidak, meskipun pada kenyataannya tidak selalu begitu. Hanya karena suatu pendapat, atau mungkin cara pikir, atau mungkin juga kebiasaan masih jarang di masyarakat, lantas orang-orang pun menganggapnya salah.
Coba saja, apakah karena lebih bisa diterima di umum, maka shopping, dugem, main DoTA, dan main futsal dianggap lebih benar dari main yu-gi-oh? Pada dasarnya, semua sama benarnya, namun kembali opini publik menghakimi sesuatu, dan menentukan itu benar atau salah.
Tentu saja prinsip seperti ini sangat bertentangan dengan yang namanya demokrasi. Dalam demokrasi, semua seharusnya mempunyai hak yang sama. Golongan minoritas harusnya tidak ditinggalkan atau disepelekan begitu saja. Memang, kasus permainan ini bisa dibilang bukan kasus yang signifikan atau apa, tetapi ini adalah salah satu contoh menyedihkan, bahwa bahkan dalam lingkungan kampus pun, ada saja penyepelean terhadap sesuatu bersifat minoritas.